Wednesday, August 12, 2009

Starting your life below zero is not that hard.

Sombong sekali judulnya. Hahaha. Tapi percayalah, kawan, bila kau tahu rasanya, tak ada satu pun orang yang mau merasakannya, dan hanya orang-orang terpilih saja yang dapat melaluinya. Aduh, sombong lagi deh. Bukan sombong juga sih, itu hanya suatu ketegaran yang aku ingin kalian mengetahuinya.

Hidupku jauh lebih membaik, berangsur-angsur memulih, lebih teratur. Aku lebih ekspresif, dinamis, kreatif, baik terhadap diriku maupun orang-orang di sekitarku. Aku juga merasa menjadi lebih open mind, lebih berpikir positif, lebih teliti, lebih waspada, lebih rapi, lebih dewasa dan satu lagi yang paling utama, aku lebih tegar.


Itu bisa terlihat dari kebiasaan-kebiasaan kecilku yang mulai kembali, seperti menghabiskan waktu di lapangan terbuka, mengisi waktu senggangku untuk bermain game, menggambar, bernyanyi, bahkan jadual keseharianku jauh lebih teratur. Terutama antara kegiatan yang dilakukan, asupan makan dan istirahat. Pula kegiatan dunia dan akhirat.


Kuliahku tidak jauh berbeda dengan semester sebelumnya di mana aku mengambil 8 credit. 2 dialokasikan untuk meluluskan major Human Computer Interaction, 2 untuk mendukung major Software Information System, 2 adalah course wajib bagi mahasiswa di bawah School of IT, dan 2 adalah mata kuliah pilihan yang mendukung major Human Computer Interaction.


Regarding to GPA, mine is so so. Dibilang bagus tidak, dibilang jelek tidak juga. Loh. Menurutku, GPA-ku itu kemungkinan akan susah untuk mendapat beasiswa, kawan. But, not bad. Terkadang menurutku nilai segitu amatlah luar biasa mengingat segenap hati, jiwa, dan ragaku yang dihancurkan di saat-saat yang sangat tepat untuk menghancurkan masa depan. Dengan hasil pass saja sudah seharusnya aku sangat bersyukur. Wajar, karena aku ditinggal salah seorang yang paling aku cintai dan sayangi dengan cara terburuk yang tak pernah kusangka. Kalau kata Lobo, You left me, just when I needed you most.


Kawan, aku normal, sangat normal. Aku bukan orang yang bisa dengan tiba-tiba menyatakan Single and Happy sesaat setelah ditinggal pasangannya, apalagi bukan dengan cara yang baik, walaupun hubungan kita yang sudah amat tidak sehat untuk dilanjutkan, tidak peduli seberat apa usahaku untuk mempertahankan hubungan sakit itu. Aku banyak menghabiskan waktu sendiri, menyendiri, menangis tiap pagi dan petang. Haah, aku berani jamin, kedua teman serumahku tak tahu adanya. Bahkan teman sekamarku, Nurul Annisaawati Sekarsundari, tempat kita berbagi ruang dalam kamar, pun aku jamin tak tahu. Terlebih Jingga Sukma Adita yang berbeda kamar. Pikiranku kosong, entah memikirkan apa, tidak masa lalu itu, tidak masa depan, tidak hari ini. Yang pasti pikiranku berat sekali. Hanya tangis yang dapat meringankannya. Nafsu makanku sangatlah labil. Aku tidak memikirkan lagi sakitnya maagku, tidak memikirkan kewajiban makan setiap 6 jam yang harus dijaga yang sudah aku terapkan selama kurang lebih 3 tahun. Terlebih komposisi karbohidrat, protein, lemak, vitamin yang kumakan. Ah. Aku tidak peduli. Aku bersyukur masih dapat tegar, melihat ke depan.


Aku kembali pulih bukan tanpa usaha, kawan. Aku kembali dapat menikmati hidup setelah menaruh konsentrasi di perkuliahan lagi, menghabiskan banyak waktu untuk latihan karate, mencoba untuk berlatih saman, menghabiskan waktu di kepanitiaan Pesta Rakyat dan Buku untuk Anak Bangsa, menikmati menjepret Brisbane, merekam video-video beberapa kegiatan, bermain bersama teman-teman, mengikuti beberapa perlombaan, mendaftarkan diri sebagai volunteer di beberapa organisasi, mendaftarkan diri sebagai anggota di beberapa instansi, mengikuti kajian-kajian, bersakit-sakit menghadapi susahnya mencari kerja-yang-aku-inginkan di Brisbane dimulai dari requirement yang terlalu tinggi, jadual yang tidak pas dengan kuliah, lokasi kerja yang tidak memungkinkan, tidak terpilih setelah interview, dan yang paling sakit; karena aku bukan citizen atau bukan Permanent Residence. Tapi di balik semuanya, aku bisa seperti sekarang ini karena-Nya. Mungkin dua teman serumahku bisa saja heran karena aku terlihat jauh lebih beriman dari hari-hari biasanya. Hahaha. Dasar manusia, paling mengingat Tuhannya ketika berada dalam kesulitan. Tapi aku bersyukur, karena tidak digiring ke jalan yang kurang baik. Puji syukur Tuhan semesta Alam.


Aku sudah melewati masa-masa berat dan lelah itu, kawan. Aku teringat di satu hari di bulan Juni, ketika aku bisa kembali tertawa lepas. Rasa dari hati yang tidak pernah aku rasakan untuk beberapa bulan lamanya. Ekspresi yang benar-benar spontan, lepas, membuncah begitu saja. Lalu satu malam di bulan Juli, aku yakin itu malam di mana aku mulai bisa tidur nyenyak. Malam di mana aku bisa tertidur sesaat aku merebahkan diriku di kasur kamarku. Lalu satu siang di bulan Juli, aku merasakan semua keinginan makanku kembali seperti semula. Aku makan 3 kali sehari, dengan 6 jam selangnya, kecuali antara makan malam dan makan pagi yang bertenggang 12 jam. Aku pusing bila tidak makan, aku mengantuk sesudah makan. Tidakkah kau merasakannya indahnya, kawan? Dan satu hari di bulan Agustus, aku merasakan apa yang tidak aku rasakan untuk sekian lama. Rasa yang tidak pernah ada lagi selama sekitar 3 tahun. Ah. Kalau Titiek Puspa bilang, Berjuta rasanya.


Tak henti-hentinya aku berterimakasih kepada orang-orang yang akan tetap dan selalu menyayangiku apa adanya, menerimaku dengan tulus dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Terutama Mika Halpin Hasanah, yang omongan dan sarannya tentang hal ini sering aku hiraukan, orang yang selalu menasihatiku untuk kebaikanku. Tak kurang dan tak lebih. Juga Jibrilia Alamsjah yang selalu sabar mendengarkan keluh kesahku yang itu-itu saja, yang selalu bilang, Masalahnya bukan di lo Zah, inti masalahnya bukan di lo. Nothing’s wrong with you. Orang ini begitu menginspirasiku agar tetap tegar, yah, tegar. Lalu ada Imairi Eitiveni yang senantiasa beristighfar bila aku menceritakan kisahku, uni selalu bilang, Cinta itu menyembuhkan, bukan menyakiti. Aku selalu ingat doa yang diajarkannya kepadaku tentang mencari pasangan terbaik. Lalu Ashriana Saddatini yang selalu meyakinkan bagaimana beruntungnya diriku sekarang karena tak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari hubungan semacam itu. Ah, orang ini kerap membuatku tertawa, ia selalu saja mempunyai contoh pembanding kisahku, yang lagi-lagi membuatku makin merasa beruntung. Thanks heaps, Moch! Lalu seorang yang senantiasa mengingatkanku tentang hidup, bahwa hidup itu bukan untuk jatuh terus-menerus, tapi juga untuk bangun dan berjalan lagi. Hidup itu bukan untuk sekarang saja, tapi untuk hari-hari ke depan. Hidup itu bukan untuk seorang saja, tapi untuk orang banyak. Dan semuanya, tak lepas dari kasih sayang Ibu yang kerap menelponku tiap hari, Bapak, yang menunjukkan kasihnya dengan cara yang sangat unik dan Allah SWT, yang memperkenankan aku untuk kembali.


Labels: , , ,